Awan hitam beranjak menuju selatan, meninggalkan langit Pontianak, Kota Khatulistiwa, "Hujan" menjadi tujuan terakhir dari adanya awan hitam.
Seorang lelaki tercenung menatap jalanan panjang, dia tidak terlalu tua, tiga puluh limaan mungkin, dari bentuk wajahnya, jelas sekali di masa remajanya, banyak wanita yang akan jatuh cinta begitu melihatnya.
Lelaki itu akhirnya berjalan, mengayunkan langkahnya dengan senandung-senandung ria tentang hutan, di mana ada hujan, di situ ada kebahagiaan, itulah prinsipnya, jadi kemanapun langit hitam membawa hujan, ke sanalah laki-laki itu pergi, kadang ia berteduh di bawah pohon sambil menadahkan tangan menikmati tetesan demi tetesan air hujan, kadang ia di bawah jembatan, tapi tidak jarang ia malah sengaja membiarkan tubuhnya diguyur hujan.
Lelaki itu akhirnya berjalan, mengayunkan langkahnya dengan senandung-senandung ria tentang hutan, di mana ada hujan, di situ ada kebahagiaan, itulah prinsipnya, jadi kemanapun langit hitam membawa hujan, ke sanalah laki-laki itu pergi, kadang ia berteduh di bawah pohon sambil menadahkan tangan menikmati tetesan demi tetesan air hujan, kadang ia di bawah jembatan, tapi tidak jarang ia malah sengaja membiarkan tubuhnya diguyur hujan.
Tapi hampir dua minggu ini Hujan tidak lagi turun.. awan hitam yang datang selalu tersapu orang angin sebelum benar-benar meneteskan air, lelaki itu mulai resah..
"Hujan Cinta Ku, kemana kah dirimu beberapa hari ini, aku merindukanmu" Kata Lelaki itu, terduduk di samping dermaga, menatap langit senja yang mulai gelap, malam segera menjelang.
Angin berhemus perlahan, cukup untuk memainkan rambut lelaki itu yang mulai memanjang kusut, pakaiannya tidak terlalu jelek, tapi jelas sekali sudah berhari-hari tidak di cuci, ia hanya menunggu hujan datang mencuci tubuh sekaligus bajunya.
Parahu-parahu datang dan pergi silih berganti, kerlam-kerlim lampunya cukup menerangi suangi kapus di malam itu.
"Haruskah aku mengejarmu menggunakan perahu-perahu itu? aku tidak sanggup, sungguh.. tidakkah kau lihat aku tidak memiliki apa-apa lagi untuk dijadikan bekal" Kata lelaki itu.
Bisik-bisik orang di dermaga itu mulai terdengar..
"orang gila" Kata salah seorang,
"bukan, dia hanya stres" Kata yang lain.
"Mm... lihatlah, mereka mengatakan aku gila, seperti orang-orang yang ku temui sebelumnya" Kata lelaki itu.
Dia hendak pergi meninggalkan tempat itu saat sebuah batu mengenai punggungnya, ia hanya tersenyum, menatap bocah polos di bawah pohon kelapa yang baru tumbuh beberapa tahun yang lalu, senyumnya penuh dengan kerinduan, bocah itu melotot.
"Lihat, Dia seperti Dirta, anakku yang mati beberapa bulan lalu" Kata Lelaki itu.
Hidup itu keras, mungkin benar seperti yang dikatakan sebuah lagu, "Yang kuat bertahan, yang lemah berantakkan".
tapi cobalah untuk bertanya bagaimana orang yang sebelumnya kuat, justru jadi berantakan, Siapapun yang pernah mengalaminya akan mengerti, apa rasanya derita kehilangan.
Lelaki itu berjalan, menyusuri gelapnya malam, masih mencari-cari hujan, dan kembali terduduk di dekat jembatan Kapuas.
"Kau masih mengejar hujan" Kata suara seorang wanita.
"Ah.. kau lagi, mengapa mengikutiku"
"Hm.. kau mengenalku, bukankah kita tidak pernah bertemu?"
"Benarkah? lalu siapa yang datang merayuku Jum'at malam kemarin" Kata Lelaki itu.
Wanita itu tersenyum, "Mungkin bayanganku, karena aku belum mengenalmu"
Lelaki itu tertegun, memperhatikan raut wajah wanita cantik yang kini tersenyum di hadapannya.
"Bolehkan aku bertanya?"
"Apa kau yakin aku bisa menjawabnya?" Lelaki itu balik bertanya, si wanita tertawa renyah..
"Mm.. karena tidak ada lelaki lain yang mengejar hujan sepertimu, jadi mengapa kau terus melakukan itu?"
"Tidaklah kau lihat semua orang telah pergi meninggalkanku, kedua anakku mati, istriku juga ikut meregang nyawa, aku hanya memiliki hujan, tapi kini hujan juga pergi meninggalkanku" Jawab Lelaki itu tertunduk sedih, namun tidak ada air mata.
"Bahkan semua orang mengatakan aku gila" Tambahnya.
"Tapi aku tidak, bahkan aku tidak akan meninggalkanmu" Kata wanita itu.
"Berarti kau orang gila itu"
"Apa bedanya gila dengan tidak gila, waras dengan tidak waras, bagaimana kita membuktikan bahwa aku, kau bahkan orang-orang itu tidak gila?
"Kau benar, kita adalah sekumpulan orang gila, ada orang gila yang serakah, ada juga yang polos, orang gila yang serakah sedang berebut kursi di gedung-gedung tinggi itu, sedangkan orang gila yang polos, asik merintih di gubuk reot pojok kota"
"Hahaha... bisakah sejenak saja kita melupakan kegilaan, kita hanya berdua menikmati gelapnya malam, agar nyamuk-nyamuk itu iri" Kata wanita itu menyandarkan kepanya ke bahu si lelaki.
"Kau yakin? aku tidak memiliki apa-apa lagi untuk diberikan"
"dan aku tidak menginginkan apapun darimu selain ini" Jawab si wanita menunjuk dada si lelaki.
mata mereka bertemu, untuk sejenak si lelaki melupakan kerinduannya kepada hujan, wajah yang hanya beberapa senti saja dari wajahnya seakan menjanjikan kebahagiaan,
"Kau berjanji tidak akan pergi?"
"Mm.. Aku berjanji" Jawab wanita itu.
Bibir mereka bertemu, membangkitkan birahi malam, angin yang berhembus mulai gelisah, lenguhan demi lenguhan mulai terdengar.. Biarlah malam itu milik mereka berdua, hingga salah satu dari mereka terkapar, atau keduanya menikmati puncak kegilaan..
**
Pagi sekali, beberapa menit setelah ayam di pinggiran kota berkokok, warga di pinggiran sungai kapuas dikejutkan oleh ditemukannya sosok mayat laki-laki mengambang di tepi sungai kapuas..
"Itu orang gila kemarin"
"Pasti ia bunuh diri"
"Mungkin terpeleset"
"Biarin saja ah, dia cuma orang gila"
Dan hujanpun turun malu-malu, mengguyur kota Khatulistiwa, membalas sapa kerinduan jiwa lelaki yang tinggal jasad mengambang itu....
Angin berhemus perlahan, cukup untuk memainkan rambut lelaki itu yang mulai memanjang kusut, pakaiannya tidak terlalu jelek, tapi jelas sekali sudah berhari-hari tidak di cuci, ia hanya menunggu hujan datang mencuci tubuh sekaligus bajunya.
Parahu-parahu datang dan pergi silih berganti, kerlam-kerlim lampunya cukup menerangi suangi kapus di malam itu.
"Haruskah aku mengejarmu menggunakan perahu-perahu itu? aku tidak sanggup, sungguh.. tidakkah kau lihat aku tidak memiliki apa-apa lagi untuk dijadikan bekal" Kata lelaki itu.
Bisik-bisik orang di dermaga itu mulai terdengar..
"orang gila" Kata salah seorang,
"bukan, dia hanya stres" Kata yang lain.
"Mm... lihatlah, mereka mengatakan aku gila, seperti orang-orang yang ku temui sebelumnya" Kata lelaki itu.
Dia hendak pergi meninggalkan tempat itu saat sebuah batu mengenai punggungnya, ia hanya tersenyum, menatap bocah polos di bawah pohon kelapa yang baru tumbuh beberapa tahun yang lalu, senyumnya penuh dengan kerinduan, bocah itu melotot.
"Lihat, Dia seperti Dirta, anakku yang mati beberapa bulan lalu" Kata Lelaki itu.
Hidup itu keras, mungkin benar seperti yang dikatakan sebuah lagu, "Yang kuat bertahan, yang lemah berantakkan".
tapi cobalah untuk bertanya bagaimana orang yang sebelumnya kuat, justru jadi berantakan, Siapapun yang pernah mengalaminya akan mengerti, apa rasanya derita kehilangan.
Lelaki itu berjalan, menyusuri gelapnya malam, masih mencari-cari hujan, dan kembali terduduk di dekat jembatan Kapuas.
"Kau masih mengejar hujan" Kata suara seorang wanita.
"Ah.. kau lagi, mengapa mengikutiku"
"Hm.. kau mengenalku, bukankah kita tidak pernah bertemu?"
"Benarkah? lalu siapa yang datang merayuku Jum'at malam kemarin" Kata Lelaki itu.
Wanita itu tersenyum, "Mungkin bayanganku, karena aku belum mengenalmu"
Lelaki itu tertegun, memperhatikan raut wajah wanita cantik yang kini tersenyum di hadapannya.
"Bolehkan aku bertanya?"
"Apa kau yakin aku bisa menjawabnya?" Lelaki itu balik bertanya, si wanita tertawa renyah..
"Mm.. karena tidak ada lelaki lain yang mengejar hujan sepertimu, jadi mengapa kau terus melakukan itu?"
"Tidaklah kau lihat semua orang telah pergi meninggalkanku, kedua anakku mati, istriku juga ikut meregang nyawa, aku hanya memiliki hujan, tapi kini hujan juga pergi meninggalkanku" Jawab Lelaki itu tertunduk sedih, namun tidak ada air mata.
"Bahkan semua orang mengatakan aku gila" Tambahnya.
"Tapi aku tidak, bahkan aku tidak akan meninggalkanmu" Kata wanita itu.
"Berarti kau orang gila itu"
"Apa bedanya gila dengan tidak gila, waras dengan tidak waras, bagaimana kita membuktikan bahwa aku, kau bahkan orang-orang itu tidak gila?
"Kau benar, kita adalah sekumpulan orang gila, ada orang gila yang serakah, ada juga yang polos, orang gila yang serakah sedang berebut kursi di gedung-gedung tinggi itu, sedangkan orang gila yang polos, asik merintih di gubuk reot pojok kota"
"Hahaha... bisakah sejenak saja kita melupakan kegilaan, kita hanya berdua menikmati gelapnya malam, agar nyamuk-nyamuk itu iri" Kata wanita itu menyandarkan kepanya ke bahu si lelaki.
"Kau yakin? aku tidak memiliki apa-apa lagi untuk diberikan"
"dan aku tidak menginginkan apapun darimu selain ini" Jawab si wanita menunjuk dada si lelaki.
mata mereka bertemu, untuk sejenak si lelaki melupakan kerinduannya kepada hujan, wajah yang hanya beberapa senti saja dari wajahnya seakan menjanjikan kebahagiaan,
"Kau berjanji tidak akan pergi?"
"Mm.. Aku berjanji" Jawab wanita itu.
Bibir mereka bertemu, membangkitkan birahi malam, angin yang berhembus mulai gelisah, lenguhan demi lenguhan mulai terdengar.. Biarlah malam itu milik mereka berdua, hingga salah satu dari mereka terkapar, atau keduanya menikmati puncak kegilaan..
**
Pagi sekali, beberapa menit setelah ayam di pinggiran kota berkokok, warga di pinggiran sungai kapuas dikejutkan oleh ditemukannya sosok mayat laki-laki mengambang di tepi sungai kapuas..
"Itu orang gila kemarin"
"Pasti ia bunuh diri"
"Mungkin terpeleset"
"Biarin saja ah, dia cuma orang gila"
Dan hujanpun turun malu-malu, mengguyur kota Khatulistiwa, membalas sapa kerinduan jiwa lelaki yang tinggal jasad mengambang itu....
No comments:
Post a Comment