Saturday, November 24, 2012

Terlantar Empat Hari

Hh.. Ternyata udara kota Jakarta lebih pengap dari yang ku bayangkan, bahkan melebihi Pontianak, kotanya khatulistiwa, mungkin karena gedung-gedung angkuh itu, atau tronton-tronton yang keluar masuk  pelabuhan, aku hanya bisa merenung, apa yang akan terjadi pada kota ini 30 atau 40 tahun yang akan datang, semoga saja tidak keburu tenggelam.
Tiga hari sudah aku terlantar, berawal dari pertemuanku dengan Linda, sapu tangan, ketinggalan kapal, kehabisan duit, pulang lagi ke Majalengka tanah kelahiran, rasanya tidak mungkin, pilihannya hanya bertahan, luntang-lantung di kota Jakarta, meski hanya menyusuri di sekitar pelabuhan Tanjung Priok. saat seperti ini aku jadi merindukan teman-teman di kos Angsa Puri, Susi, Bella, terlebih Zohir.
"Tumben hari ini cewek kamu gak datang" Kata Dede, bocah tiong hoa yang senasib denganku.
"Siapa? Linda, dia hanya temen" Jawabku
"Hahaha,, dari sikapnya, dia naksir banget sama kamu la"
"Hh.. mungkin, tapi sebentar lagikan pisahan"
"Sayang banget tuh, udah cantik, baik lagi, walau tomboy wa"
Aku hanya tersenyum, memang benar.. Linda walau kadang menjengkelkan, dia baik dan cantik, tidak kalah sama Susi, tapi Linda hanyalah teman perjalanan, itu saja kesimpulanku.
"Cafe yu' maen bilyar, siapa tahu heng ini hari"
"Bukan untung malah buntung" Jawabku.
dari kemarin Dede berusaha mengajakku ke Cafe, tapi dengan berbagai alasan aku menolak, aku kadang merasa heran dengannya, uang disakunya tinggal 50 ribu, masih ada satu hari lagi sampai kapal berangkat, tapi dia terlihat tenang-tenang saja.
Tujuanku dengan Dede sama, yaitu Pontianak, bedanya pontianak adalah tempat tinggalku, sedangkan Dede baru pertama kalinya, ini juga karena terpaksa, kemarin dia cerita bahwa perjalanananya sebagai pelarian, dia terlibat perkelahian dan terpaksa membunuh, anak muda memang mudah berbuat nekat.
"Ku dengar di Pontianak banyak orang tiong hoa ya?" 
"Bukan lagi banyak, memang tempatnya"
"Semoga saja di sana bisa lebih aman"
"Urusan aman, tergantung dari kita juga De, terkadang bukan tempat yang tidak mau menerima kita, tapi kita yang tidak mau menyesuaikan diri dengan tempat yang menjadikan tempat itu mengucilkan kita" Kataku, so' bijak.
"Ya,, semoga saja, dengan surat keterangan ini, bisa menyakinkan petugas pelabuhan di Pontianak"
"Percaya deh, kalau udah turun dari kapal kelak, gak bakalan ada lagi pemeriksaan" Kataku, Dede tersenyum.
Dede termasuk orang yang nekat, kepergiannya tanpa membawa KTP, atau identitas lain, hanya selembar surat keterangan Lurah, dan itupun menurutku palsu, entah apa jadinya nanti, terserah, yang penting di perjalanan ini, siapapun bisa menjadi teman.
"Ki, nih ku bawa makanan" Linda datang mengagetkanku, tangannya penuh dengan bungkusan.
"Cewek kamu datang, saatnya aku caula.." Kata Dede menyeringai, menepuk pundakku, kemudian berbalik entah kemana, mungkin ke Cafe lagi.
"Tahu aja kalau aku lagi laper" Kataku.
"Ya tahulah, duit kamukan tinggal satu lembar 100 ribu, pasti belum dipecahin" Suara Linda menusukku.
"Stt, ngomongnya jangan terlalu nyaring, malu tahu" 
"Ops... maaf, yu' makan dulu"
"Memangnya kamu belum makan juga?"
"Belum, sengaja nunggu laper" Jawab Linda.
Aku mulai sibuk membuka bungkusan, makanan mewah ku rasa, hiruk pikuk tempat penampungan membuat ku makan tidak tenang, tapi Linda sepertinya asik-asik saja, masih ada juga anak orang kaya bertingkah seperti Linda, lagi-lagi aku hanya tersenyum.
"Maaf ya, karena aku, kamu jadi terlantar begini" Kata Linda.
"Ia, kalau di hitung, mungkin sudah lebih sepuluh kali kamu ngomong begitu"
"Hehehe... habisnya di tawari tiket pesawat, malah gak mau"
"Bukan gak mau Lin, tapi aku gak yakin itu uang kamu, siapa tahukan itu hasil nyolong punya bokap atau nyokap, bisa kecelakaan tuh pesawat, yang kena bukan aku saja"
"Huh.. gak segitunya juga kali, kamu pikir aku gak punya uang sendiri, memang sih pemberian orang tua juga, tapi udah menjadi hak milik" Kata Linda.
Debu-debu jalanan masih beterbangan tersapu ban motor dan mobil, matahari sudah condong jauh ke barat, tapi suasana pengap masih terasa, telebih di tempat penampungan, Linda mengajakku meninggalkan pelabuhan, awalnya aku ragu, tapi setelah di pikir ulang lagi, kapal berangkat besok subuh, waktu masih terlalu banyak kalau hanya dihabiskan duduk menunggu di tempat penampungan, akhirnya aku setuju dengan Linda, jalan-jalan sore menyusuri Taman tidak jauh dari Terminal bus.
"Aku jadi ingin ikut ke Pontianak" Kata Linda, aku langsung tersedak.
"Ngapain? di sana itu kota panas, kamu pasti gak betah"
"Emangnya di sini gak panas, pengen jalan-jalan aja, sumpeg di rumah terus, temen-temen Pencinta Alam lagi pada sibuk masing-masing"
"Aku tak menyangka kalau tinggal di rumah mewah dan luas itu bisa membosankan juga"
"Nyinggung nih?"
"Hehehe.. dikit, memangnya apa sih yang membuatmu koq jadi seneng jalan-jalan, kamukan cewek, gak cemas apa?"
Linda tertunduk, wajah riangnya tiba-tiba saja redup, sejenak hening, aku menelan liurku sendiri, panas sore hari ini membuat kerongkonganku terasa kering.
"Maaf kalau pertanyaanku membuatmu sedih" Kataku, tak enak juga hanya melihat Linda terdiam.
"Gak koq, aku hanya bingung aja Ki"
"Bingung kenapa?
"Bingung apakah harus ikut dengan kamu, atau tetap dirumah"
"Hahaha....Kalu kamu maksa ikut juga, gak bakalan ku izinin"
"Kenapa? takut merepotin, atau gak suka dengan sikapku?"
"Ye.. bukannya begitu, kasian sama orang tua kamu, pasti cemas mendengar anak kesayangannya pergi ke Kalimantan dengan orang tak di kenal"
"Hh... orang tua pada sibuk sendiri, gak bakalan kehilangan"
"Jangan ngomong begitu Lin, harusnya kamu bersyukur masih bisa satu rumah dengan orang tua, terus kebutuhan juga tercukupi, banyak teman-teman kita yang tidak bisa merasakan itu"
"Itu karena kamu gak tahu aja seperti apa Ayah Ibuku"
"Setiap orang tua sama Lin, menginginkan yang terbaik untuk anaknya.. sekali-kali coba sedikit saja kita mengerti mereka"
"Koq kamu jadi ceramahin aku, bilang aja deh kalau kamu takut di ikutin olehku" Kata Linda suaranya meninggi.
aku menarik nafas, "Bukan nyeramahin, ngingatkan aja.. orang tua itu sangat berarti buat kita, dan kita jauh lebih berarti lagi untuk orang tua, hanya kadang cara menunjukannya yang berbeda"
"Sudah Ah.. aku bosan dengernya, aku pulang..." Kata Linda
aku hanya bisa terdiam, tak sempat berkata lagi, Linda sudah berbalik, berjalan setengah berlari mungkin dia berharap aku mengejarnya, menghentikan langkahnya, dan membawanya kembali ke pelabuhan, belum terlambat untuk membeli tiket untuknya, tapi aku tidak melakukan itu, menyenangkan memang kalau Linda bisa menemaniku di kapal, tapi itu tidak ada artinya dibandingkan bayanganku terhadap tangis kedua orang tua Linda karena kehilangan anaknya, jadi aku membiarkannya pergi, dan aku juga berbalik, melangkah gontal menyusuri jalanan, tas abu-abu dipunggungku terasa semakin berat, padahal isinya cuma beberapa helai baju.
"Mas..bangun Mas..." Pelan dan parau aku mendengar suara, aku ketiduran setelah sholat Isya di mushola.
"Oh.. maaf ketiduran" Kataku, merapikan rambut seadanya.
"Ia dari tadi saya tunggu, gak bangun-bangun, jadi terpaksa saya bangunin, soalnya mau dikunci" Kata pria tua di depanku, sepertinya dia penjaga mushola itu, aneh memang, zaman sekarang tempat beribadah saja harus dikunci, aku gak habis pikir, apakah tidak ada lagi tempat aman di negara ini?
tepat jam sepuluh malam saat aku kembali ke ruang penampungan penumpang di pelabuhan, banyak sekali orang-orang di sana, dan semuanya sudah terlentang dengan beralaskan seadanya, koran, kertas semen, atau tikar plastik, dari bayi sampai kakek-kakek ada di sana.
aku berharap di sana ada Linda, seperti malam-malam sebelumnya, dia datang setelah lewat jam sembilan, membawa makanan, mengajakku ngobrol sampai salah satu dari kami tertidur duluan bersandar di pojokan ruang tunggu, tapi setelah kejadian tadi sore, sepertinya Linda tidak akan datang malam ini.
Dede juga tidak ada di sana, kemanakah gerangan bocah itu, ah.. aku tidak terlalu peduli, mataku benar-benar mengantuk, cukup dengan alas kardus semen yang ku beli lima ribu tadi sore, aku bisa tertidur pulas, berharap mimpi indah datang menjelang.
Rasanya baru beberapa menit saja aku tertidur, mimpipun tidak ada yang singgah sama sekali, saat hiruk-pikuk penumpang mulai gaduh, beberapa petugas pelabuhan datang, meberitahukan bahwa kapal yang menuju ke pontianak sudah diap untuk di tempati, bahkan di tengah subuh buta begini, berebut tempat masih menjadi tradisi, aku hanya bisa menggelengkan kepala, menunggu semua orang meninggalkan tempat penampungan, baru aku beranjak, jadwal kapal jam 4 subuh, ini baru jam 2, masih ada dua jam untuk bersantai, itupun kalau tepat waktu, Aku masih berharap bertemu dengan Linda, sekedar mengucapkan kata perpisahan, atau apalah, tapi sampai pengumuman dari ruang informasi bahwa kapal akan segera berangkat, aku tidak melihat Linda, apkah dia benar-benar membenciku.. ah.. biarkan saja, dia hanya teman yang ku temui di perjalanan.

"Uh.. Ki, susah sekali yo nyari kamu" Suara Dede mengagetkanku, ternyata dia sudah ada di kapal duluan, dia sekarang bersama dua orang temannya sesama tionghoa.
"Kirain gak jadi naik kapal"
"Nih ada titipan dari cewek kamu" Kata Dede, kemudian berbalik, mengajak kedua temannya untuk berkeliling kapal.
Huh... Linda, mengapa hanya kertas aja yang menjadi kata perpisahan kita, batinku. aku langsung membuka lipatan kertas itu, isinya cukup membuat jantungku merasa tertusuk..

"Selamat Tinggal Ki, aku sebenarnya tadi ngikutin kamu, tapi aku tidak sanggup mengucapkan kata perpisahan, jadi aku menuliskan ini..
maafkan aku ya.. sikapku memang menjengkelkan, dan terima kasih untuk semuanya..
Lusa adalah hari pernikahanku, saat bertemu kamu, aku merasa memiliki pilihan, tapi bertindak terlalu egois juga bukan cara memecahkan masalah, jadi aku menerima saran dari kamu, untuk mengerti apa keinginan orang tua, dan aku menerima lamaran dari seorang pengusaha yang pernah menyelamatkan keluarga kami dari Tragedi Bentrokan Tanjung Priok beberapa tahun yang lalu.. Pengusaha itulah yang membuat kami kaya,, itu adalah keinginan orang tuaku, dan aku akan mengerti, demi kamu..

Aku akan merindukanmu..
Linda..

Saat kapal mulai berangkat, perasaanku tercabik.. ku remas lipatan kertas dari Linda, saat itu aku tersadar, aku telah menusuk jantungku sendiri...

No comments:

Post a Comment