Saturday, November 24, 2012

Terlantar Empat Hari

Hh.. Ternyata udara kota Jakarta lebih pengap dari yang ku bayangkan, bahkan melebihi Pontianak, kotanya khatulistiwa, mungkin karena gedung-gedung angkuh itu, atau tronton-tronton yang keluar masuk  pelabuhan, aku hanya bisa merenung, apa yang akan terjadi pada kota ini 30 atau 40 tahun yang akan datang, semoga saja tidak keburu tenggelam.
Tiga hari sudah aku terlantar, berawal dari pertemuanku dengan Linda, sapu tangan, ketinggalan kapal, kehabisan duit, pulang lagi ke Majalengka tanah kelahiran, rasanya tidak mungkin, pilihannya hanya bertahan, luntang-lantung di kota Jakarta, meski hanya menyusuri di sekitar pelabuhan Tanjung Priok. saat seperti ini aku jadi merindukan teman-teman di kos Angsa Puri, Susi, Bella, terlebih Zohir.
"Tumben hari ini cewek kamu gak datang" Kata Dede, bocah tiong hoa yang senasib denganku.
"Siapa? Linda, dia hanya temen" Jawabku
"Hahaha,, dari sikapnya, dia naksir banget sama kamu la"
"Hh.. mungkin, tapi sebentar lagikan pisahan"
"Sayang banget tuh, udah cantik, baik lagi, walau tomboy wa"
Aku hanya tersenyum, memang benar.. Linda walau kadang menjengkelkan, dia baik dan cantik, tidak kalah sama Susi, tapi Linda hanyalah teman perjalanan, itu saja kesimpulanku.
"Cafe yu' maen bilyar, siapa tahu heng ini hari"
"Bukan untung malah buntung" Jawabku.
dari kemarin Dede berusaha mengajakku ke Cafe, tapi dengan berbagai alasan aku menolak, aku kadang merasa heran dengannya, uang disakunya tinggal 50 ribu, masih ada satu hari lagi sampai kapal berangkat, tapi dia terlihat tenang-tenang saja.
Tujuanku dengan Dede sama, yaitu Pontianak, bedanya pontianak adalah tempat tinggalku, sedangkan Dede baru pertama kalinya, ini juga karena terpaksa, kemarin dia cerita bahwa perjalanananya sebagai pelarian, dia terlibat perkelahian dan terpaksa membunuh, anak muda memang mudah berbuat nekat.
"Ku dengar di Pontianak banyak orang tiong hoa ya?" 
"Bukan lagi banyak, memang tempatnya"
"Semoga saja di sana bisa lebih aman"
"Urusan aman, tergantung dari kita juga De, terkadang bukan tempat yang tidak mau menerima kita, tapi kita yang tidak mau menyesuaikan diri dengan tempat yang menjadikan tempat itu mengucilkan kita" Kataku, so' bijak.
"Ya,, semoga saja, dengan surat keterangan ini, bisa menyakinkan petugas pelabuhan di Pontianak"
"Percaya deh, kalau udah turun dari kapal kelak, gak bakalan ada lagi pemeriksaan" Kataku, Dede tersenyum.
Dede termasuk orang yang nekat, kepergiannya tanpa membawa KTP, atau identitas lain, hanya selembar surat keterangan Lurah, dan itupun menurutku palsu, entah apa jadinya nanti, terserah, yang penting di perjalanan ini, siapapun bisa menjadi teman.
"Ki, nih ku bawa makanan" Linda datang mengagetkanku, tangannya penuh dengan bungkusan.
"Cewek kamu datang, saatnya aku caula.." Kata Dede menyeringai, menepuk pundakku, kemudian berbalik entah kemana, mungkin ke Cafe lagi.
"Tahu aja kalau aku lagi laper" Kataku.
"Ya tahulah, duit kamukan tinggal satu lembar 100 ribu, pasti belum dipecahin" Suara Linda menusukku.
"Stt, ngomongnya jangan terlalu nyaring, malu tahu" 
"Ops... maaf, yu' makan dulu"
"Memangnya kamu belum makan juga?"
"Belum, sengaja nunggu laper" Jawab Linda.
Aku mulai sibuk membuka bungkusan, makanan mewah ku rasa, hiruk pikuk tempat penampungan membuat ku makan tidak tenang, tapi Linda sepertinya asik-asik saja, masih ada juga anak orang kaya bertingkah seperti Linda, lagi-lagi aku hanya tersenyum.
"Maaf ya, karena aku, kamu jadi terlantar begini" Kata Linda.
"Ia, kalau di hitung, mungkin sudah lebih sepuluh kali kamu ngomong begitu"
"Hehehe... habisnya di tawari tiket pesawat, malah gak mau"
"Bukan gak mau Lin, tapi aku gak yakin itu uang kamu, siapa tahukan itu hasil nyolong punya bokap atau nyokap, bisa kecelakaan tuh pesawat, yang kena bukan aku saja"
"Huh.. gak segitunya juga kali, kamu pikir aku gak punya uang sendiri, memang sih pemberian orang tua juga, tapi udah menjadi hak milik" Kata Linda.
Debu-debu jalanan masih beterbangan tersapu ban motor dan mobil, matahari sudah condong jauh ke barat, tapi suasana pengap masih terasa, telebih di tempat penampungan, Linda mengajakku meninggalkan pelabuhan, awalnya aku ragu, tapi setelah di pikir ulang lagi, kapal berangkat besok subuh, waktu masih terlalu banyak kalau hanya dihabiskan duduk menunggu di tempat penampungan, akhirnya aku setuju dengan Linda, jalan-jalan sore menyusuri Taman tidak jauh dari Terminal bus.
"Aku jadi ingin ikut ke Pontianak" Kata Linda, aku langsung tersedak.
"Ngapain? di sana itu kota panas, kamu pasti gak betah"
"Emangnya di sini gak panas, pengen jalan-jalan aja, sumpeg di rumah terus, temen-temen Pencinta Alam lagi pada sibuk masing-masing"
"Aku tak menyangka kalau tinggal di rumah mewah dan luas itu bisa membosankan juga"
"Nyinggung nih?"
"Hehehe.. dikit, memangnya apa sih yang membuatmu koq jadi seneng jalan-jalan, kamukan cewek, gak cemas apa?"
Linda tertunduk, wajah riangnya tiba-tiba saja redup, sejenak hening, aku menelan liurku sendiri, panas sore hari ini membuat kerongkonganku terasa kering.
"Maaf kalau pertanyaanku membuatmu sedih" Kataku, tak enak juga hanya melihat Linda terdiam.
"Gak koq, aku hanya bingung aja Ki"
"Bingung kenapa?
"Bingung apakah harus ikut dengan kamu, atau tetap dirumah"
"Hahaha....Kalu kamu maksa ikut juga, gak bakalan ku izinin"
"Kenapa? takut merepotin, atau gak suka dengan sikapku?"
"Ye.. bukannya begitu, kasian sama orang tua kamu, pasti cemas mendengar anak kesayangannya pergi ke Kalimantan dengan orang tak di kenal"
"Hh... orang tua pada sibuk sendiri, gak bakalan kehilangan"
"Jangan ngomong begitu Lin, harusnya kamu bersyukur masih bisa satu rumah dengan orang tua, terus kebutuhan juga tercukupi, banyak teman-teman kita yang tidak bisa merasakan itu"
"Itu karena kamu gak tahu aja seperti apa Ayah Ibuku"
"Setiap orang tua sama Lin, menginginkan yang terbaik untuk anaknya.. sekali-kali coba sedikit saja kita mengerti mereka"
"Koq kamu jadi ceramahin aku, bilang aja deh kalau kamu takut di ikutin olehku" Kata Linda suaranya meninggi.
aku menarik nafas, "Bukan nyeramahin, ngingatkan aja.. orang tua itu sangat berarti buat kita, dan kita jauh lebih berarti lagi untuk orang tua, hanya kadang cara menunjukannya yang berbeda"
"Sudah Ah.. aku bosan dengernya, aku pulang..." Kata Linda
aku hanya bisa terdiam, tak sempat berkata lagi, Linda sudah berbalik, berjalan setengah berlari mungkin dia berharap aku mengejarnya, menghentikan langkahnya, dan membawanya kembali ke pelabuhan, belum terlambat untuk membeli tiket untuknya, tapi aku tidak melakukan itu, menyenangkan memang kalau Linda bisa menemaniku di kapal, tapi itu tidak ada artinya dibandingkan bayanganku terhadap tangis kedua orang tua Linda karena kehilangan anaknya, jadi aku membiarkannya pergi, dan aku juga berbalik, melangkah gontal menyusuri jalanan, tas abu-abu dipunggungku terasa semakin berat, padahal isinya cuma beberapa helai baju.
"Mas..bangun Mas..." Pelan dan parau aku mendengar suara, aku ketiduran setelah sholat Isya di mushola.
"Oh.. maaf ketiduran" Kataku, merapikan rambut seadanya.
"Ia dari tadi saya tunggu, gak bangun-bangun, jadi terpaksa saya bangunin, soalnya mau dikunci" Kata pria tua di depanku, sepertinya dia penjaga mushola itu, aneh memang, zaman sekarang tempat beribadah saja harus dikunci, aku gak habis pikir, apakah tidak ada lagi tempat aman di negara ini?
tepat jam sepuluh malam saat aku kembali ke ruang penampungan penumpang di pelabuhan, banyak sekali orang-orang di sana, dan semuanya sudah terlentang dengan beralaskan seadanya, koran, kertas semen, atau tikar plastik, dari bayi sampai kakek-kakek ada di sana.
aku berharap di sana ada Linda, seperti malam-malam sebelumnya, dia datang setelah lewat jam sembilan, membawa makanan, mengajakku ngobrol sampai salah satu dari kami tertidur duluan bersandar di pojokan ruang tunggu, tapi setelah kejadian tadi sore, sepertinya Linda tidak akan datang malam ini.
Dede juga tidak ada di sana, kemanakah gerangan bocah itu, ah.. aku tidak terlalu peduli, mataku benar-benar mengantuk, cukup dengan alas kardus semen yang ku beli lima ribu tadi sore, aku bisa tertidur pulas, berharap mimpi indah datang menjelang.
Rasanya baru beberapa menit saja aku tertidur, mimpipun tidak ada yang singgah sama sekali, saat hiruk-pikuk penumpang mulai gaduh, beberapa petugas pelabuhan datang, meberitahukan bahwa kapal yang menuju ke pontianak sudah diap untuk di tempati, bahkan di tengah subuh buta begini, berebut tempat masih menjadi tradisi, aku hanya bisa menggelengkan kepala, menunggu semua orang meninggalkan tempat penampungan, baru aku beranjak, jadwal kapal jam 4 subuh, ini baru jam 2, masih ada dua jam untuk bersantai, itupun kalau tepat waktu, Aku masih berharap bertemu dengan Linda, sekedar mengucapkan kata perpisahan, atau apalah, tapi sampai pengumuman dari ruang informasi bahwa kapal akan segera berangkat, aku tidak melihat Linda, apkah dia benar-benar membenciku.. ah.. biarkan saja, dia hanya teman yang ku temui di perjalanan.

"Uh.. Ki, susah sekali yo nyari kamu" Suara Dede mengagetkanku, ternyata dia sudah ada di kapal duluan, dia sekarang bersama dua orang temannya sesama tionghoa.
"Kirain gak jadi naik kapal"
"Nih ada titipan dari cewek kamu" Kata Dede, kemudian berbalik, mengajak kedua temannya untuk berkeliling kapal.
Huh... Linda, mengapa hanya kertas aja yang menjadi kata perpisahan kita, batinku. aku langsung membuka lipatan kertas itu, isinya cukup membuat jantungku merasa tertusuk..

"Selamat Tinggal Ki, aku sebenarnya tadi ngikutin kamu, tapi aku tidak sanggup mengucapkan kata perpisahan, jadi aku menuliskan ini..
maafkan aku ya.. sikapku memang menjengkelkan, dan terima kasih untuk semuanya..
Lusa adalah hari pernikahanku, saat bertemu kamu, aku merasa memiliki pilihan, tapi bertindak terlalu egois juga bukan cara memecahkan masalah, jadi aku menerima saran dari kamu, untuk mengerti apa keinginan orang tua, dan aku menerima lamaran dari seorang pengusaha yang pernah menyelamatkan keluarga kami dari Tragedi Bentrokan Tanjung Priok beberapa tahun yang lalu.. Pengusaha itulah yang membuat kami kaya,, itu adalah keinginan orang tuaku, dan aku akan mengerti, demi kamu..

Aku akan merindukanmu..
Linda..

Saat kapal mulai berangkat, perasaanku tercabik.. ku remas lipatan kertas dari Linda, saat itu aku tersadar, aku telah menusuk jantungku sendiri...

Sunday, November 18, 2012

Gara - Gara Sapu Tangan

Dua minggu sudah berlalu, cukup menyenangkan berada di tanah kelahiran, bertemu sepupuan di sana, saudara yang tidak terlalu ku kenal, maklum umurku baru dua tahun saat aku dibawa Transmigrasi ke Pelosok Kalimantan, dan baru dua kali aku menapakkan kaki kembali di tanah kelahiran ini.
Stasiun kereta api Cirebon, orang-orang di sini lebih sering menyebutnya stasiun Kejaksan, alasannya karena stasiun itu terletak di kecamatan Kejaksan. aku sengaja datang siang hari, matahari sudah condong beberapa meter ke arah barat, semoga saja Linda tidak melupakan kata-katanya waktu itu, bertemu di sini, di hari dan jam yang sama, aku jadi tidak sabar ingin menemuinya, padahal dia hanya temen perjalanan yang baru satu kali ku temui.
Satu Jam, dua jam, dan kini hampir tiga jam, belum nongol juga tuh orang, sudah dua kereta ku biarkan berlalu, aku sengaja tidak membeli karcis awal,  dan kini mulai timbul rasa menyesal, kenapa juga harus menunggu janji yang tak jelas, apalagi hanya karena sapu tangan.
ku buka tas, mengambil sapu tangan warna biru milik Linda, nama dan alamat Linda tertera di sana, aku baru menyadarinya waktu nyuci sapu tangan itu beberapa hari yang lalu, aku jadi tersenyum sendiri, kereta berikutnya mulai terdengar, dan aku tidak ingin ketinggalan kereta lagi, tapi saat aku hendak berjalan menuju loket karcis, bocah pedagang asongan menghampiriku.
"Abang Uki ya?"
"Mm.. koq tahu?" Aku mengernyitkan kening.
"Akhirnya, setelah menunggu dari tadi, kemarin ada cewek cantik nitip kertas ini Bang, katanya suruh kasihkan sama cowok yang hari ini duduk paling lama di sini, dia bilang namanya Uki"
Sial pikirku, Linda pasti sudah menyiapkan ini semua, dan aku kena bodohi.. 
Bocah itu memberikan lipatan kertas kecil, putih semu hitam, tanpa hati-hati ku buka lipatan kertas itu, bocah itu masih setia menunggu, sepertinya ingin tahu sesuatu.
isi kertas itu hanya tulisan beberapa kalimat, dan isinya sangat membuatku kesal "Maaf Ki, aku pulang lebih awal dari rencana, temui aku di alamat yang tertera pada Sapu Tangan, Oia kemarin aku nitip sama pedagang asongan, dengan imbalan uang lima puluh ribu, tapi belum ku bayar, sekalian bayarkan ya, aku sudah janji soalnya, anggap nyumbang deh, hehe.. Trims"
Aku hanya bisa melotot memandang isi kertas itu, bocah itu masih menunggu dengan mata berbinar, mungkin sudah kebayang di matanya uang lima puluh ribu.
Terpaksa deh aku merogoh dompet, keuanganku benar-benar menipis, untuk pulang naik pesawat sudah tidak mungkin, pelabuhan adalah satu-satunya tujuan saat ini, setelah mengunjungi alamat Linda tentunya, gak tahu juga rasa penasaran memaksaku untuk menemuinya, mungkin sedikit jitakan dikepalanya bisa mengobati rasa kesal.
Aku berlari begitu kereta mulai berangkat, mendahului orang-orang denga barang bawaan segudang, aku langsung melompat ke gerbong tengah, saat kereta mulai melaju, aku baru tersadar lupa membeli karcis, untung kereta tidak terlalu penuh, masih banyak bangku kosong, hingga aku bebas duduk di kursi yang paling aman, tapi tetap saja tidak tenang, terlebih ketika ada petugas meminta karcis.
"Sebentar Pak, karcis saya ada sama teman di depan" Kataku, pura-pura mencari seseorang di gerbong depan, petugas kembali sibuk mengambil karcis dari penumpang lain.
sulit rasanya mencari tempat persembunyian di dalam kereta, kecuali WC, aku jadi ingat film jadul "Boleh untung terus" yang diperankan Kadir dan Doyok, naik kereta tanpa karcis.
Alhasil perjalanan di kereta hari ini sangat tidak menyenangkan, rasa tidak tenang, tapi akhirnya aman sampai tujuan, dengan beberapa kali menghindari petugas tentunya, kucing-kucingan. Aku jadi bertambah kesal, ini semua gara-gara sapu tangan.
Hiruk pikuk kota Jakarta, hampir magrib saat aku nyampai di stasiun, beberapa tukang ojek menghampiriku, aku hanya tersenyum dan melambai tanda tidak, hari ini aku ingin berjalan, menghilangkan rasa penat dan ketidak tenangan selama di kereta tadi, sekalian mencari alamat rumah Linda, sepertinya tidak terllau jauh dari stasiun gambir.
Aku telah berada di mushola saat adzan magrib berkumandang, beginilah enaknya kalau bepergian tidak membawa banyak barang, singgah dimana aja aman, gak perlu kawatir dengan barang hilang.
bagaimanapun sumpegnya perjalanan, bagiku tetap menyenangkan, ada nilai-nilai tertentu yang bisa ku rekam, dan ku tuliskan kelak di lembar catatanku, ku pajang di blog, atau hanya memenuhi catatan facebook.
Aku melanjutkan perjalanan mencari rumah Linda, bertanya sana-sini, akhirnya sampai juga di depan sebuah rumah mewah, tingkat tiga mungkin, pagarnya tinggi, di atasnya lilitan kawat berduri pencegah maling, rasanya agak segan untuk memencet bel, tapi demi sapu tangan yang harus ku kembalikan, aku nekat juga.
Ibu-ibu setengah baya datang tergopoh, pakaiannya kucel, tapi aku tidak bisa menyimpulkan apapun.
"Nyari siapa Mas"
"Mm.. ini benar rumahnya Linda?"
"Ia benar..Tapi.. Anu..
"Siapa Bi?" Terdengar suara Bapak-bapak bernada garang, aku langsung ciut, si Bibi berbalik, menyuruhku masuk.
"Kamu siapanya Linda?" Kata Bapak itu tanpa basa-basi, aku hanya menelan liur ku sendiri.
"Saya Tem.."
"Mau apa datang kemari?"
"Mm.. saya mau meng.."
"Lindanya tidak ada, dia kabur dari rumah dua minggu yang lalu"
"Tapi.. pak saya.."
"Kamu pasti tahu Linda di mana? katakan di mana atau menyesal!" Bapak itu benar-benar tidak memberi kesempatan untukku bicara secara tuntas, selalu saja di potong.
Aku menarik nafas dalam, mencoba mengumpulkan segenap keberanian..
"Pak, saya datang kesini untuk..."
"Sekarang kamu pergi... Saya bukan orang yang mudah tertipu" Kata Bapak itu langsung berbalik, masuk ke rumah, dan menyuruh si Bibi untuk mengantarkanku ke pintu luar, aku terbengong.
"Maaf Mas, Bapaknya Linda memang seperti itu, tapi sebenarnya hatinya baik, dia hanya sedang bingung" Kata si Bibi.
"Tapi Bi.."
"Ia, bibi ngerti, kamu pasti Uki kan?  Tadi siang Linda pulang, tapi nyuruh bibi untuk merahasiakan kepulangannya, sekarang Linda lagi di tempat temennya, tadi nitip ini, suruh kasihkan sama cowok yang datang kemari, namanya Uki"
Ah.. sial pikirku, aku jadi semakin merasa di bodohi, tapi aku hanya bisa tersenyum di depan si Bibi, sambil menerima lipatan kertas lagi.
isinya semakin membuat ku dongkol, "Ah.. nyampai juga kamu ke rumahku ya, maaf Bapakku lagi kumat garangnya, aku aja sampe gak betah, kamu pasti kena dampaknya, hihihi.. temui aku di Pelabuhan, aku yakin kamu juga pasti mau ke sana kan? Oia, aku tadi udah janji sama Bibi untuk ngasih uang jaga mulut lima puluh ribu, tolong bayarin ya!!! Trims.."
Hanya itu pesannya, dan si Bibi sedang tersenyum menatapku, lagi-lagi aku harus merogoh dompet, cewek satu ini aneh banget, dan anehnya aku jadi semakin tertantang.
Untuk menghemat tenaga, akhirnya aku ngojek menuju pelabuhan Tanjung Priok, dalam hati aku berjanji, kalau di sana hanya menemukan lipatan kertas lagi, aku tidak akan peduli lagi, langsung beli tiket untuk pulang ke Pontianak.
lima belas menit saja, akhirnya aku sampai di depan pelabuhan, penumpang sudah banyak di sana, entah mau pada pergi kemana, berangkat malam bukan lagi menjadi tantangan, aku menyusuri pelabuhan mencari wajah yang mudah-mudahan saja bisa ku ingat, dari hatle sampai tempat penampungan, kantin-kantin juga ku singgahi, aku tetap tidak menemukan Linda, aku benar-benar putus asa.. Jika kalian mulai menganggap aku lelali paling bodoh sedunia, ya benar, ku akui itu.
"Hei.." Seseorang menepuk punggungku dari belakang, suaranya bisa ku kenali, dan mudahan aku tidak keliru.
Benar saja, Linda sedang menyeringai menatapku, pantas saja tidak ku temukan, dia memakai topi, menyembunyikan rambut panjangnya, pakaiannya mirip cowok.
"Aku gak mau lama-lama lagi, nih sapu tangan kamu, aku mau nyari tiket" Kataku, mencoba seketus mungkin.
"Hahaha, ngambek ceritanya nih"
"Aku gak ngambek, cuma buru-buru"
Aku berbalik, berjalan cepat, Linda mengikutiku.
"Maaf deh Ki, kalau kamu kesal, marah juga gak apa-apa, aku hanya mau bilang terima kasih aja, udah melewati tahap-demi tahap untuk bertemu denganku" Kata Linda.
"Aku hanya ingin ngembalikan sapu tangan, bukan bertemu dengamu" Jawabku.
"Kalau hanya ngembalikan sapu tangan, ngapa gak dititipkan aja ke si Bibi di rumah" Kata Linda, aku terdiam, sial aku terjebak sendiri.
Aku masuk ke salah satu loket penjualan tiket Linda masih setia menungguku di luar, wajah terlihat cantik terkena sinar lampu, aku mengamatinya dari balik kaca loket, lagi-lagi aku hanya tersenyum sendiri..
"Maaf Mas, tiket untuk ke Pontianak sudah habis, kapal juga siap berangkat beberapa menit lagi" Kata cewek si penjual tiket.
"untuk besok pagi juga gak apa-apa" Kataku.
"Maaf Mas, ke Pontianak adanya tiga atau empat hari lagi, besok dan lusa tidak ada kapal"
"Masa sih mb'?
"Benar Mas, kapal juga memiliki jadwal" Lututku bergetar lemas, pergi kebandara juga sepertinya percuma, duitku tidak bakalan cukup untuk beli tiket pesawat.
aku menghampiri Linda dengan langkah Gontai.
"Kehabisan tiket ya?" Kata Linda.
"Ia, ini gara-gara kamu" Kataku, Linda malah tertawa.
"Tenang deh, aku akan menemani kamu di sini koq" Kata Linda.
Perasaannku tidak menentu, tiga atau empat malam? rasanya tidak sanggup, kecuali memang memiliki teman perjalanan seperti Linda, aku jadi mempertimbangkan untuk bertahan, karena hanya itulah pilihannya..

Friday, November 9, 2012

Semangat di Hari Pahlawan

"Dari Tahun ke tahun, hari pahlawan ni terasa semakin hampa ya?" 
"Jelas aja Hir, bagaimana gak hampa, pejabatnya pada sibuk ngumpetin hasil korupsi, perang prasangka, lempar batu sembunyi tangan, jadi hari ini paling-paling upacara doang, habis itu sibuk lagi dengan jarahan" Jawab Uki.
"Kalian gak pada ikut upacara?" Kata Susi menyembul di balik pintu, biasa tanpa ngetuk.
"Ngapain panas-panas begini upacara"
"Ya menghargai para pahlawanlah.."
"Banyak cara menghargai para pahlawan selain upacara" Kata Uki.
"Kalau gak mau ya udah, jangan banyak komentar" Kata Susi membanting pintu.
Uki dan Zohir saling tatap, keduanya menggeleng.
Pukul delapan lebih sepuluh menit, mentari kembali perkasa, meski masih miring ke arah Timur.
Sabtu tanggal 10 November, entah apa yang terjadi di enam puluh atau tujuh puluh tahun yang lalu, apakah sama damai seperti sekarang ini? atau teriak perang masih ada di berbagai penjuru tanah air, tapi mungkin kalian sepakat denganku, kalau hidup di jaman dulu sebenarnya tidak terlalu buruk, setidaknya masih memiliki kesempatan untuk mengukir nama di batu nisan sebagai pahlawan, saat ini, mau jadi pahlawan untuk diri kita sendiri aja kadang sulit, semua telah berubah, kemajuan teknologi telah memanjakan sekaligus membuai semangat juang, meski kita sadari bahwa kita kembali di jajah oleh bangsa Asing, tentu dengan cara yang  berbeda, dan yang paling bertanggung jawab atas penjahan saat ini adalah pejabat negara ini sendiri, dengan berdalih tidak memiliki sumber daya manusia, dengan mudahnya menerima uang tips untuk sebuah proyek besar yang dilakukan oleh negara-negara asing, yang jadi korban tetaplah masyarakat, bawah. Ops... koq keterusan kebawa perasaan nih..
Ok, lanjut ke cerita..
Tepat di hari pahlawan ini, banyak mahasiswa menggelar demo, mungkin tujuannya untuk membangkitkan semangat juang, sekaligus menghargai para pahlawan bangsa yang telah gugur mendahului kita.
Tapi Uki dan Zohir malah mojok di warung, menghadapi sisa-sisa goreng pisang, biasanya sih nyari gratisan, tapi sekarang, keduanya bertekad untuk bayar masing-masing, demi semangat juang di hari pahlawan, anehkan?
"Sebaiknya apa ya yang perlu kita lakukan di hari pahlawan ini?" Kata Zohir.
"Banyak Hir, tuh pungutin sampah di jalanan" Jawab Uki.
"Kalau kamu udah melakukannya duluan, baru aku ngikut"
"Kan kamu yang nanya, aku ngasih solusi, dan kamu donk yang lakukan, punya solusi itu mahal" Kata Uki menyuapkan goreng pisang kemulutnya.
"Cuma solusi begitu mah, semua orang juga bisa, gak ada solusi yang lebih menarik gitu"
"Mm... ada Hir, cara termudah adalah dengan berkorban untuk kebaikan, nah sudah siapkan kamu untuk berkorban?"
"Korban apa dulu?"
"Ya banyak, contoh yang kecil, bayarin gorengan yang ku makan tadi, kan demi kebaikan juga" Kata Uki.
"Huh.. itu mah demi kebaikan kamu doang, tapi merugikan diriku"
"Ye.. namanya juga berkorban" Kata Uki.
"Kan kita udah sepakat untuk bayar masing-masing, demi hari pahlawan"
"Memang, tapi kalau kamu mau melakukan yang lebih baik, dan rela berkorban, tentunya harus bayarin donk"
"Ya ampun, kalian ini, dari tadi aku berangkat, sampai sekarang udah pulang, masih duduk di warung" Kata Susi, Bella di sampingnya.
"Namanya juga menghargai pahlawan, kita lagi mengheningkan cipta" Jawab Uki.
"Mengheningkan cipta dari hongkong, coba deh melakukan hal-hal yang berguna" Kata Bella.
"Ini juga berguna Bell, berguna untuk kekenyangan perut, itukan yang paling utama dalam hidup" Jawab Zohir.
"Sekali-kali jangan pentingkan diri sendiri apa, tuh sekeliling kos kita kotor, banyak sampah, bersihin kek" kata Susi.
"hah.. yang sering buang sampah sembarangan siapa coba?
"Siapa lagi kalau bukan kalian, dari sekian banyak sampah, kalau di hitung, puntung rokok kalian yang paling banyak, masih mau menghindar?" Kata Bella melotot.
"Tenang deh Sus, Bel, sebentar lagi bakal bersih tuh kos" Kata Zohir menepuk dada.
"Ya udah, kita kerja bakti aja sama-sama, kasih tahu yang lain" Kata Uki.
"Oia, sekalian kasih tahu Ibu kos, untuk menyiapkan konsumsi" Kata Zohir.
"Ia, tapi kalian cepat pulang, Bi, usir aja dua makhluk ini, menuh-menuhkan tempat aja" Terik Susi. S Bibi warung tersenyum ngangguk, tangannya mengibas-ngibas ke arah Uki dan Zohir.
"Hari ini gratis bi ya?" Kata Uki main mata.
"Gak ada gratis-gratisan"
"Ya.. Bibi, inikan hari pahlawan, sekali-kali kek berkorban"
Si Bibi kekeuh gak ngasih gratisan, mungkin karena utang-utang yang lama juga belum di bayar, akhirnya Uki dan Zohir kembali ke kos, memperhatikan sekeliling halaman, memang banyak sekali puntung rokok di sana.
"Kerja bakti-kebarja Bakti!!" Uki berteriak, menggedor setiap pintu,
sepuluh kamar di huni oleh lima belas  orang cewek, satu kamar di huni oleh Uki dan Zohir, kebayangkan betapa merepotkannya menjadi suku minoritas, tapi Uki dan Zohir menikmatinya, bahkan sangat menikmati.. :)
Susi dan Bella sudah di luar, Ibu kos datang tergopong, ikut semangat juga melihat anak-anak kosnya punya inisiatif kerja bakti.
"Apaan sih Ki, ngantuk tahu" Kata Ika, nongol di balik pintu kamarnya, pakaiannya minim.
"Jam segini masih molor, malu tahu, ini kan hari pahlawan" 
"Emang gue pikirin, lagian kita di sinikan bayar Ki, ngapain repot-repot"
"Bayar sih bayar, tapi urusan kebersihan, tanggung jawab kita donk, gak mau tahu, cepetan keluar, semuanya" Uki berlaga tegas
Dengan sangat terpaksa, Ika keluar kamar, di susul dengan Fitri, temen satu kamarnya.
Hari sabtu, kuliah pada libur, jadi anak-anak kos itu pada meringkuk semua di kamar, kecuali Susi dan Bella, ikut upacara, maklum aktif di pramuka.
Kerja baktipun dimulai, Uki dan Zohir bagian menebas dengan arit tumpul seadanya, anak-anak cewek mungutin sampah, yang bergerak cuma tangan kirinya doang, itupun sambil bergidik, padahal berasal dari daerah semua, setahun dua tahun berada di kota, berubah semua, hanya Susi dan Bella yang tidak terlalu berubah.
"Ki, paritnya sumbat nih" Kata Susi.
"Giliranmu Hir, terjun ke parit" Kata Uki.
"Enak aja, kamu aja sono"
"Susikan nyuruh kamu"
"Huh.. kalian berdua ini, cuma turun ke parit dangkal, masih saja saling andalkan, percuma jadi laki-laki" Kata Susi, mengambil kayu agak panjang, bersiap turun ke parit"
"Eh.. Sus, jangan nodai kulit mulus kamu dengan air parit, biar aku aja" Kata Zohir, merebut kayu di tangan Susi, langsung loncat masuk keparit, semangatnya kambuh, Uki ngikik.
"Eh.. malah di ketawain, bantuin donk" Kata Zohir.
Mau tidak mau Uki ikutan membantu Zohir, tapi tidak turun ke parit, aroma dan warna air parit itu cukup membuat Uki alergi.
"Kamu yang bersihin, larikan ke sisi sampahnya, biar aku yang ngangkat" Kata Uki.
anak-anak cewek sudah pada istrirahat, kini hanya menonton Uki dan Zohir mengais-ngais sampah di parit, Susi senyam-senyum sendiri memperhatikan Uki dan Zohir, Zohir tambah semangat, hingga tidak sadar tubuhnya makin kelelep, tadi cuma sampai pinggul, kini sampai dada, dan yang paling sialnya, ada benda kuning mengapung di sisi Zohir, Uki bergidik, pura-pura tidak melihat.
"Satu lagi Hir, sebelah kamu" Kata Uki menahan tawa.
Zohir tanpa pikir panjang meraih benda itu..
"Busyet apaan?" Kata Zohir reflek tangannya mengibas,  benda lembek kuning di tangannya berhamburan kesegala Arah..
"Pueh.. pueh..pueh.., Wueeeek... kata cewek-cewek serempak, Zohir langsung keluar dari parit, berlari menuju air ledeng, Aroma tidak sedap mengusik udara di sekeliling kos itu.
Uki malah ngakak, terlambat sadar, kalau bajunya terkena cipratan benda kuning yang dikibaskan oleh tangan Zohir.

_Ygi_

Thursday, November 8, 2012

Kos Angsa Puri

Kalau kalian jalan-jalan ke kota Pontianak, menelurusi Komplek Universitas Tanjungpura atau lebih sering disebut UNTAN, terus mampir deh ke Sepakat, di sana banyak sekali kos-kosan, bahkan asrama juga ada, cari Gang yang berada di tengah, nah di tengah gang itu berdiri Kos-kosan dengan Warna setengah Pink dan setengah Putih, terus di depannya ada tulisan yang cukup besar "KOS PUTRI ANGSA PURI" tapi jangan salah, walau statusnya Kos Putri, ada dua makhluk berjenis kelamin cowok, dan kedua makhluk itu jadi cowok terkeren di kos itu, tapi kalau keluar kos, hilang deh kerennya.. :-D
siapakah kedua makhluk itu? MM...m.. Siapa lagi kalau bukan Uki dan Zohir.. :-)

Hari itu Kos Angsa Puri sedang mengalami tahap renovasi, walau cuma ganti Cat luar, "nyicil" kata Ibu kos waktu itu. Tadinya Ibu kos mau nyari tukang khusus, spesialis bidang pengecatan, tapi begitu diskusi dengan Uki dan Zohir, dengan sigap Uki Angkat Tangan..
"Biar saya dan Zohir aja bu yang mengerjakannya"
"Yakin, ini bukan pekerjaan mudah lo" Kata Ibu Kos..
"Tenang deh Bu, ibu tinggal belikan cat, kami kerjakan dijamin beres, rapi, gak kalah saing dengan tukang" Kata Zohir.
"Asal bayarannya memadai, kami siap mengerjakannya mulai hari ini" Kata Uki berlaga detektif.
"Ibu sih setuju aja, asal tidak mengganggu perkuliahan kalian, dan mungkin bisa lebih menghemat" 
"Kami bersedia gak dibayar, asalkan kos nya gratis satu tahun" Kata Zohir.
"Satu tahun sih, ibu yang tekor, bagaimana kalau dua bulan gratis" 
"Empat bulan deh bu" 
"Tiga bulan aja" 
"Ok deh, tiga bulan + sarapan pagi selama satu bulan" Kata Uki.
Ibu kos mendelikkan mata, mikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk setuju.
Setelah hati itu, Uki dan Zohir jadi mulai sibuk, demi mengecat, mereka berdua rela tidak masuk kuliah, namanya juga borongan, makin cepat selesai, makin bagus.
Yang mereka keluhkan adalah warna cat yang dibeli ibu kos, masih sama Putih dengan Pink..
"Bagaimana ini Ki? masa mau warna ini lagi" Kata Zohir.
"Eh.. susah-susah, biar beda warna, kita aduk aja ini cat" Jawab Uki, Zohir mengacungkan Jempol.
Akhirnya tanpa sepengetahuan Ibu Kos, itu cat di campur, kebayang gak warna apa saat putih di campur Pink, kalau merah campur putih, hasilnya jelas warna pink, nah kalu ini.. menghasilkan warna yang tidak jelas.
"Wah.. ada bakat juga nih jadi tukang cat" Kata Bella, saat pulang kuliah.
"Sekalian rumahku juga donk" Kata Susi.
"Tenang Sus, biar rumah kamu sebesar apapun, aku rela mengecatnya, asalkan mau jadi istriku" Kata Zohir.
"Weeeek" Jawab Susi.
Uki ngikik, memperhatikan wajah cantik Susi, 
"Dapet borongan berapa nih Ki, bolehlah makan-makan" Kata Bella.
"Eh.. ike juga ikutan donk" Kata Ika, langkah gemulainya memprihatinkan.
"Boleh, pesan aja kewarung, ntar bayarnya" Kata Uki.
"Bener ya, mau pesan nih" Kata Bella.
"Ia, bener, sekalian aku pesankan juga ya"
Bella membuang tasnya di dekat garasi, hanya mengganti sepatu dengan sendal, kemudian ngajak Susi ikutan ke warung, keliatan banget kalau dia belum makan.
"Istirahat dulu yu' Hir, sambil nunggu makanan"
"Huh.. harusnya kita makan gratis, eh.. malah hanya pagi doank" Kata Zohir, menaruh ember catnya, tangannya blepotan.
"Gak nyangka juga, dapat sarapan pagi selama sebulan, ternyata dihitung dari mulai kerja, tapi tenang Hir, aku masih bisa makan gratis" Kata Uki.
Beberapa menit kemudian, Susi dan Bella datang dengan Bibi warung depannya sekalian, membawa lima piring nasi, lengkap dengan lauk pauknya.
"Makan-makan, Tuh Bi, bos kita yang mau bayarkan" Kata Bella, menunjuk Uki.
"Lho, tadi yang bilang mau bayarin siapa ya?" Kata Uki.
"Kan kamu yang bilang, nyuruh pesan" Kata Bella, nadanya mulai curiga.
"Aku bilangkan cuma pesan aja kewarung, ntar bayarnya, nah berhubung kalian bertiga yang pesan, kalian juga donk yang bayar" Kata Uki.
"Eh..eh.. mana bisa gitu ya, jangan berkelit deh" Kata Ika.
"jadi yang mau bayarin siapa nih? cape nunggu tahu" Kata Si Bibi.
"Ya udah deh, aku yang bayarin aja" Kata Susi.
"Eh.. jangan Sus, biar aku aja" Kata Zohir mengeluarkan dompetnya, secepat kilat memberikannya ke si bibi.
"Piringnya jangan lupa balikan secepatnya" Kata Si bibi, langsung berbalik.
"Awas kamu Ki!" Kata Bella,
"Makan tuh sekalian dengan piringnya" Kata Ika.
"Kalau minta traktir, bilang dari awal don, Nih Hir, ku ganti" Kata Susi, Ika dan Bella sudah masuk ke dalam,
"Gak usah Sus, aku masih ada koq" Jawab Zohir.
"Sini Sus, zohir gak mau " Kata Uki.
"Ye.. kamu tuh gak tahu malu" Kata Susi.
"Kan kemaluan udah ditutup, lagian laper tahu kalau mikirin harga diri mulu" Kata Uki cuek bebek.
"Oia, sebenarnya borongan kalian ini berapa sih?" 
"Kita gak nuntut uang koq, cuma gratis tinggal 3 bulan, itupun udah cukup" Kata Uki, Susi mengernyitkan kening, kemudian tersenyum sendiri.
"Ok deh, aku masuk dulu ya, ntar malam, kamu ada acara gak Ki?"
Uki melirik Zohir, yang dilirik pura-pura asik makan.
"Aku ntar aku mau ngerjakan tugas, memangnya kenapa?"
"Gak apa-apa sih, cuma mau ngajak jalan aja, refresing, mungkin lain kali aja" Kata Susi.
"Aku gak ada acara apa-apa koq Sus" Kata Zohir, mulutnya masih penuh.
"Ok, nanti kalau jadi aku kasih tahu" Jawab Susi, beberapa detik kemudian, sosoknya hilang di balik pintu.
Uki dan Zohir saling tatap, tapi keduanya memilih diam, tidak ada gunanya membahas hal yang tidak penting,  akhirnya mereka kembali menenggelamkan diri dengan pekerjaan ngecatnya.
dari pagi sampai sore, pengecatan bagian bawah hampir selesai, anehkan, kalau yang profesional ngecat bagian atas dulu, kalau ini sebaliknya, cari yang terjangkau dulu, urusan yang sulit belakangan.
"Lho..lho..lho.. koq warnanya jadi begeni, maca cat yang saya beli?" Kata Ibu Kos, nafasnya turun naik.
"Biar lebih fres Bu, jadi catnya kami aduk, masa dari tahun ketahun warnanya putih dengan ping mulu" Kata Uki.
"Tidak bisa ini, jelek tahu, catnya belum kalian campur semua kan?
"Tiga kaleng sudah dicampur, satu kaleng belum" Jawab Uki.
"Pokoknya Ibu tidak mau tahu, kalian harus mengecat Ulang, dan warnanya gak boleh berubah, tepat pink dan putih, kalian tidak boleh seenaknya aja mengubah kenangan masa lalu Ibu" Kata Ibu kos itu dengan mata melotot, wajahnya memerah.
Uki dan Zohir menarik nafas, bukan karena merasa bersalah, tapi karena pekerjaan hari ini bisa dibilang sia-sia..